BAB III
TINJAUAN KOTA YOGYAKARTA
3.1.
Tinjauan Umum
3.1.1. Asal-usul Di Yogyakarta
Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta
sudah mempunyai tradisi pemerintahan, karena Yogyakarta adalah Kasultanan,
termasuk di dalamnya juga Kadipaten Pakualaman.
Daerah yang mempunyai asal-usul dengan
pemerintahannya sendiri, dijaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen. Di jaman
kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar
Sultan Hamengku Buwono I Kadipaten Pakualaman, bediri sejak 1813, didirikan
oleh Pangeran Notokusumo, saudara Sultan Hamengku Buwono II (kemudian bergelar
Adipati Paku Alam 1).
Gambar 3.1. Kraton Yogyakarta
(Sumber ; Dokumen penulis, 2012)
Daerah
Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan Undang-undang No.3 tahun 1950, sesuai
dengan maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut. Disebut bahwa Daerah Istimewa
Yogyakarta adalah meliputi bekas Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah
Pakualaman.
Sesudah Sri Sultan Hamengku Buwono IX
wafat pada 3 Oktober 1988, Sri Paku Alam VIII, Wakil Gubernur Kepala Daerah
Istimewa Yogyakarta ditunjuk untuk melaksanakan tugas dan kewenangan
sehari-hari Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, diberi kedudukan
sebagai Pejabat Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, berdasarkan
Keputusan Presiden RI No. 340 tahun 1988.
Sesuai dengan latar belakang sejarah
berdirinya Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang bergabung dengan negara
Kesatuan Republik Indonesia, maka keberadaan dan posisi raja-raja yang berada
di Yogyakarta pun berubah karena tidak lagi bersifat politik namun lebih
bersifat sebagai pemimpin dan pengayom di bidang pelestarian kebudayaan. Di
Yogyakarta, terdapat 2 (dua) orang tokoh pemangku adat yang juga merupakan
pemimpin di lingkungan kraton yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Sri
Paduka Paku Alam ke IX.
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa mempunyai sumbangan yang cukup besar
dalam memajukan kebudayaan Nasional. Jumlah suku/etnis asli yang ada cenderung
homogen yaitu 1 (satu) yaitu suku Jawa, meskipun demikian karena sebagai pusat
pendidikan, budaya dan pariwisata maka sebetulnya para pendatang yang berasal
dari luar DIY maupun luar Jawa juga banyak berdatangan di DIY. Seiring dengan
jumlah suku/etnis asli hanya 1 (satu) buah, maka bahasa lokal yang digunakan
selain bahasa Indonesia adalah hanya1 (satu) buah bahasa lokal yaitu bahasa
Jawa.
3.1.2. Brand Jogja “NEVER ENDING ASIA”
Pemikiran
mengenai perlunya penciptaan citra diri (Brand
Image),
dimunculkan
oleh Gubernur DIY pada awal tahun 2001, dimana pada saat itu daerah-daerah di
Indonesia berlomba-lomba menciptakan semboyan atau slogan yang mewakili citra
daerahnya, namun hanya dipahami oleh masyarakatnya sendiri.
Gambar 3.2 Brand image
Daerah
Istimewa Yogyakarta menciptakan citra yang merefleksi atau menjadikan indikator
nilai (value indicator) bagi semua
orang, baik di dalam maupun di luar negeri. Terdapat 3 (tiga) hal yang mendasar
alasan Yogyakarta menciptakan brand
“Jogja Never Ending Asia” yakni :
1. Krisis
ekonomi yang berkanjut menjadi krisis multidimensional sejak beberapa tahun
yang silam telah membawa dampak yang serius terhadap politik, ekonomi dan
sosial.
2. Globalisasi
yang direfleksikan dalam istilah 4 I (industri, investasi, informasi,
individulis) telah mendorong munculnya persaingan antar negara, antar daerah
merebut pasar dunia.
3. Yogyakarta
telah menyadari bahwa marketing places akan
mendorong tumbuhnya perdagangan, pariwisata dan investasi atau TTI (trade, tourism, investment) untuk
mendorong pembangunan ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar