Minggu, 14 Oktober 2012

YOGYAKARTA


BAB III
TINJAUAN KOTA YOGYAKARTA

3.1. Tinjauan Umum
3.1.1. Asal-usul Di Yogyakarta
        Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan, karena Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya juga Kadipaten Pakualaman.
        Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, dijaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen. Di jaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja.
        Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I Kadipaten Pakualaman, bediri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, saudara Sultan Hamengku Buwono II (kemudian bergelar Adipati Paku Alam 1).

 Gambar 3.1. Kraton Yogyakarta
(Sumber ; Dokumen penulis, 2012)
       
Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan Undang-undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut. Disebut bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah meliputi bekas Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman.
        Sesudah Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat pada 3 Oktober 1988, Sri Paku Alam VIII, Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta ditunjuk untuk melaksanakan tugas dan kewenangan sehari-hari Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, diberi kedudukan sebagai Pejabat Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 340 tahun 1988.
        Sesuai dengan latar belakang sejarah berdirinya Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang bergabung dengan negara Kesatuan Republik Indonesia, maka keberadaan dan posisi raja-raja yang berada di Yogyakarta pun berubah karena tidak lagi bersifat politik namun lebih bersifat sebagai pemimpin dan pengayom di bidang pelestarian kebudayaan. Di Yogyakarta, terdapat 2 (dua) orang tokoh pemangku adat yang juga merupakan pemimpin di lingkungan kraton yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Sri Paduka Paku Alam ke IX.
        Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa mempunyai sumbangan yang cukup besar dalam memajukan kebudayaan Nasional. Jumlah suku/etnis asli yang ada cenderung homogen yaitu 1 (satu) yaitu suku Jawa, meskipun demikian karena sebagai pusat pendidikan, budaya dan pariwisata maka sebetulnya para pendatang yang berasal dari luar DIY maupun luar Jawa juga banyak berdatangan di DIY. Seiring dengan jumlah suku/etnis asli hanya 1 (satu) buah, maka bahasa lokal yang digunakan selain bahasa Indonesia adalah hanya1 (satu) buah bahasa lokal yaitu bahasa Jawa.
3.1.2. Brand  Jogja “NEVER ENDING ASIA”
Pemikiran mengenai perlunya penciptaan citra diri (Brand Image), dimunculkan oleh Gubernur DIY pada awal tahun 2001, dimana pada saat itu daerah-daerah di Indonesia berlomba-lomba menciptakan semboyan atau slogan yang mewakili citra daerahnya, namun hanya dipahami oleh masyarakatnya sendiri.    
       
 Gambar 3.2 Brand image

Daerah Istimewa Yogyakarta menciptakan citra yang merefleksi atau menjadikan indikator nilai (value indicator) bagi semua orang, baik di dalam maupun di luar negeri. Terdapat 3 (tiga) hal yang mendasar alasan Yogyakarta menciptakan brand “Jogja Never Ending Asia” yakni :
1.      Krisis ekonomi yang berkanjut menjadi krisis multidimensional sejak beberapa tahun yang silam telah membawa dampak yang serius terhadap politik, ekonomi dan sosial.
2.      Globalisasi yang direfleksikan dalam istilah 4 I (industri, investasi, informasi, individulis) telah mendorong munculnya persaingan antar negara, antar daerah merebut pasar dunia.
3.      Yogyakarta telah menyadari bahwa marketing places akan mendorong tumbuhnya perdagangan, pariwisata dan investasi atau TTI (trade, tourism, investment) untuk mendorong pembangunan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar